Kamis, 21 Februari 2013

SERIAL CESKUL : WELCOME TO “THE JUNGLE’ INDRALAYA


WELCOME TO “THE JUNGLE’ INDRALAYA

17 Agustus 1999

            Bus Pelangi melaju perlahan. Ini saat yang haru, saatnya meninggalkan kota Medan menuju kota Palembang. Setelah peluk cium denga mama, kakak dan abang, akhirnya saya harus berangkat. Usia 18 tahun, saatnya melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. 1 kursi di fakultas Teknik kimia UNSRI telah tersedia, begitu juga 1 buah kursi telah tersedia di D-III Pariwisata USU, pilihan hati akhirnya jatuh ke kota Pem-pek Palembang. Banyak impian yang sudah terlukis akan indahnya kuliah, mandiri, dan punya banyak teman.

            Semangat jiwa muda pasti bisa ngalahin yang namanya ketakutan. Kecuali ketakutan akan mabuk darat. Naik Bus, perjalanan lebih dari 30 Jam??? Well, sempurna, gak bisa dibayangkan berapa kali akan mengalami namanya mabuk darat, perut mules, kepala pusing (agak malu juga, tapi mabuk darat sepertinya sudah sulit lepas dari jawdal perjalanan naik bus umum). Apalagi sudah membayangkan, akan banyak minyak sinyong-yong berbagai merek yang akan dipakai para penumpang. Jangankan Medan-palembang, jarak Medan – Parapat saja sudah bisa dipastikan akan mabuk (khusus kalau naik bus).Tapi gak apa, si Bapak ikut nemanin ngantar ke Palembang sapai dengan pendaftaran mahasiswa baru selesai..

            Perjalanan 30 jam tak seindah yang dikira, apalagi melewati jalur lintas timur. Kebanyakan melewati hutan, kawasan sawit dll. Minus pemandangan indah. Perjalanan 30 jam setidaknya sudah menyadarkanku, kalau 30 jam harus dikali 2, jadi 60 jam. Artinya setiap kali berangkat ke Palembang, artinya akan ada kesempatan pulang kampung ke Medan. Berarti waktu tempuhnya harus dikali 2.

            Urusan pulang kampung urusan belakanganlah……yang penting selamat sampai di Palembang. Rekor banget, karena jarak segitu jauh cuma sekali mabok. Tepuk tangan.

            Akhirnya bus merapat juga di Palembang, untuk sementara waktu saya menumpang di rumah Oppung yang masih Oom (tulang – panggilan orang Batak) dari pihak mamaku. Keluarga yang ramah dan baik hati. Tinggal di komplek Perumahan pegawai pertamina yang lebih sering disebut Komperta –Plaju. Perumahan yang indah dan asri. Tinggal sementara di rumah Oppung sangat nyaman, walau berbagi kamar dengan 2 orang anak oppung yang masih SMU.

            Besoknya saatnya pendaftaran ulang. Bersama teman dan bapakku, ditemani seorang mahasiswa senior di UNSRI yang masih tetangga Oppung, kami menuju kampus UNSRI Indralaya. Pemikiran pertama yang salah sudah tersibak. Kampus tidak berada di kota, tapi 32 KM dari kota Palembang. Jadi lupakan hura-hura dunia gemerlap anak kuliah (karena itu cuma ada di sinetron), karena saya harus siap hidup di kawasan yang berjarak 1 jam dari kota Palembang.

            Gak cuma disitu, angkutan yang kami pakai dari Palembang ke Indralaya udah layak masuk museum (mudah2an sekarang gak  ada lagi). Angkot jurusan Kayu Agung ini termasuk unik, dinding dalamnya terbuat dari bahan papan kayu, tapi kalau luarnya, plat besi. Soal keamanan nomor sekian, toh jarang terdengar kecelakaan. Soal kenyamanan? Ya sudah, jangan banyak tanya, ongkosnya aja Cuma “tenga duo” alias seribu lima ratus. Bapakku yang saat itu ikut nemani untuk pendataran ulang jadi deg-degan juga. Bukannya sombong, tapi asli baru sekali itu lihat angkutan yang sebgian terbuat dari kayu,. Sorry dad,…there in no seat belt, just keep praying. Apalagi jarak kampus Unsri Indralaya lumayan jauh.

            Sampai di kampus ada keanehan lainnya. Mengikuti pendaftaran ulang memang gak senikmat waktu pengumuman lulus “UMPTN”. Kali ini seabrek administrasi harus di urus. Ambil formulir disini, bawa ke lantai dua, trus berfoto diujung sana, tempel materai disana, periksa buta warna naik lagi kelantai 2 ..bla,..bla,..bla. Cuaca panas pastilah, meski Kampus asri yang ditumbuhi pohon-pohonan, namun dengan “olahraga setengah ringan” sambil ngurus administrasi, sudah pastilah haus dan lapar. Saatnya mencari makanan, setidaknya untuk mengganjal. Pilihan jatuh ke si abang penjual gorengan, beberapa gorengan (jujur bentuknya agak aneh dan yang gak pernah ngeliat di Medan). Anehnya, ditawarin air cuka yang warnanya coklat.  Dengan halus kutolak tawarannya. Saatnya menikmati gorengan lokal. Hmfffffff,…ini gorengan atau ketan atau???? Kenyal, lengket, dan,…upppssss aroma ikan. Sontak puyeng tujuh keliling, apalagi saya paling anti aroma ikan. Duerrrrr,…hamper aja pingsan di lapangan rumput yang mendadak jadi tumpukan manusia dan para pedagang karena adanya pendaftaran ulang mahasiswa baru. Aneh,..benar-benar makanan yang aneh. Tak berapa lama, akhirnya saya tahu, kalau itu namanya Pem-pek. Tentu aja bukan pem-pek ”high quality”. Karena ada harga ada barang ada rupa. Siapa sangka si gorengan “aneh” tadi akhirnya menjadi salah satu makanan favorit saya. Sampai-sampai setelah saya akhirnya menetap di kota Medan, saya kadang harus pergi ke Carrefour, atau restoran yang menyajikan/ menjual pem-pek yang enak tenan.

Well itu masih asik. Dunia sebenarnya mulai terlihat jelas setelah masuk kuliah. Tinggal sekost di perumahan Serumpun. Aneh juga namanya “serumpun’. Mungkin tata bahasaku memang gak keren-keren banget, karena kata “serumpun” langsung membuat saraf di otakku memikirkan Malaysia,….negara serumpun.

Jarak ke kampus gak jauh-jauh amat, sekitar 10 – 15 menit, ongkosnya juga super duper murah hanya Rp. 200,-. Setidaknya angkot nya bukan seperti “angkot Museum” jurusan kayu Agung. g keren, banyak yang full music juga.

Nah,..ini bukan masalah angkot,…ini masalah lokasi kampus, the real “jungle” lokasi menimba kampus. Fakta-faktanya adalah:

  1. Indralaya itu lokasi pengembangan kabupaten Ogan Ilir. Pusat “Kota” paling deket namanya Timbangan, hanya ada 1 mini market dan 1 pom bensin, da nada deretan penjual kerupuk dan buah, karena daerah lintasan sekaligus menjadi persimpangan jalur menuju Jakarta dan Bengkulu.. Jadi kalau Timbangan itu “New York-nya”, maka Serumpun adalah “Arkansas-nya”. Lupakan belanja kebutuhan bulanan di semacam Carrefour, hipermart or yang lainnya. Si Mini Market inilah yang menjadi penyelamat bahan baku anak kost, kalau mau keren-kerenan wajib ke Kota Palembang yang tentu saja punya pusat perbelanjaan yang keren.
  2. Jangan kira bisa akses internet seenaknya seperti sekarang. Cuma ada 2 rental computer, dan 1 rental internet. Bersiap-siaplah mengantri.
  3. Life is limited. Jangan kira transportasi selalu 24/7 seperti iklan salah satu restoran siap saji, katrena batas angkot dari Timbangan ke Serumpun (yang berjarak hanya 10 menit) hanya tersedia sampai jam 7 malam. Lewat dari itu, silahkan jalan kaki,…tentunya dengan keberanian melintasi kawasan ‘setengah hutan” plus berharaplah gak ada uka-uka yang membuntuti.
  4. Bersiap-siaplah menikmati danau Persada yang bundar dan menjadi “danau Tobanya” di Indralaya, jangan heran kalau akan dikejar babi hutan. Bahkan pernah juga ada babi jual tampang di daerah Fakultas Ilmu Keguruan (FKIP).Percaya atau tidak dari ratusan hektas kawasan Unsri, sebagian besar masih alami, bahkan pernah ada burung hantu yang ditangkap mahasiswa di dekat Fakultas Teknik.
  5. Gak ada namanya istilah ”Gaul”. Lagian mau gaul kemana juga, paling kalau mau gaul ya ke rumah makan setempat yang nyediakan televisi yang bisa gratis di tonton. Sudah bisa dipastikan kalau ada siaran pertandingan bola, semua tempat penuh sesak. Maklum aja, jarang mahasiswa yang punya televisi sendiri. Saya aja sekarang heran, kenapa orangtua pada tega gak ngasih fasilitas televisi ke anaknya,...termasuk ortu-ku juga. Beruntunglah seiring waktu, sepertinya mahasiswa pada makin tajir, sudah punya televisi atau komputer pribadi.
  6. Berhentilah bermimpi ala ”Titanic”, Palembang dan Indralaya minus lokasi wisata seperti Danau Toba, Pantai, atau pegunungan. Yang ada hanya Taman Hutan Raya ”Punti Kayu” yang terletak di pusat kota Palembang. Kalau sekarang sudah ada wisata bahari di pinggiran sungai Musi, tapi tahun 1999 belum trend. Sebenarnya ada beberapa lokasi wisata yang keren di Sumatera Selatan, seperti lokasi Kebun Teh, Pendakian Gunung, dll. Tapi agak jauh dari kota Palembang. Kalau mau menikmatinya pun, wajib pintar berhemat, namanya aja anak kost, semuanya serba terbatas dan disiplin.
  7. Minim Fasilitas Publik. Well,...ini pengalaman pribadi, entah apa alasannya dan penjelasannya, pernah beberapa kali kejadian, Air PAM tidak mengalir di beberapa titik lokasi. Padahal air PAM sudah menjadi kebutuhan hidup seribuan mahasiswa UNSRI yang berdomisili di Indralaya. Entah kenapa juga rumah kost kami sering menjadi korban. Masih Ingat waktu tinggal di Perumahan Serumpun, air tidak mengalir sama sekali. Akhirnya saya dan teman harus berjalan sekitar 700 meter menuju sebuah danau rawa untuk mencuci baju. Berangkatnya ringan, pulangnya berat minta ampun karena kain bersih masih basah, belum lagi harus melewati hamparan ilalang, keren juga sih dipikir-pikir, malah kadang lebih keren dari pejuang ”laskar pelangi”. Pernah lagi saya pindah ke kost teman di daerah yang ”kaya air” selam 1 bulan. Gak tahan dengan kehidupan ”keras” tanpa air, hidup nomaden pun di jalani.


Sebenarnya masih banyak, tapi kisah ini bukan untuk menjelekkan suatu daerah, tujuannya hanya untuk kembali melihat kisah perjuangan kuliah dulu. Toh pada akhirnya, Indralaya menjadi salah satu tempat yang paling memorable dalam hidup saya. Percaya atau tidak, 5 tahun takkan bisa dilalui, kalau saya tidak benar-benar jatuh cinta dengan ”jungle” yang satu ini. Saya sebut ”jungle” bukan dalam arti yang sesungguhnya, tapi tantangan-tantangan yang harus saya taklukkan dalam hidup. Karena meski minim fasilitas, tokh akhirnya saya berhasil meraih Sarjana Teknik. Puji Tuhan.


2 komentar:

  1. Keren abizz....This delicious and tasteful story reminds me to memorable place in my life,, one of the most memorable adventures and experiences to stay there with nice friends. The first is BROYOT, still young and fresh of us for sure, new comer, new student, new friends..cupuu :) also li'l fighting time with Robert, by mouth only wakakakaa..... then joined SEROEMPOEN community ; playing card made my IPK SAKOJIN alias satu koma jijik-nyaa hahahahaa, badminton time, laughing time with Horja, TUTE and friends , then the last palace is Bedeng KADES with lot of rambutan and manggo trees, and those tree rods become pole for playing Volley alias batang pohon dijadikan tiang untuk pasang net buat main volley tiap sore hehhehe...almost every night we were playing domino/gaple and card there and bermain gitar serta masak-masak especially mpekmpek..WOW WOW WOWWWW.... ini ceritaku, apakah yang lain punya cerita yang sama crispy tapi hambar seperti ceritaku ini? Jiakakakaa....

    BalasHapus
  2. wkkkk,.....langsung koment dah si alite,..sabar bro,..kita publish semua crita serunya di Indralaya,...sukses yo

    BalasHapus