Selasa, 26 Februari 2013

Serial Ceskul - Kost Sweet Kost (Part-1)


Serial Ceskul – Kost Sweet Kost (Part-1)


Ada pepatah yang bilang ”Home Sweet Home”. Nah, kalau saya yang kuliah selama 5 tahun di Unsri – Indralaya lebih tepatnya disebut “Kost Sweet Kost”. Betul sekali,yang namanya anak kuliah dan merantau di negeri orang, nge-kost sudah jadi “nasib” yang menglobal. Namanya aja kost, sudah bisa dipastikan jarang ada yang keren, dan pastinya minim fasilitas. Makanya waktu saya pernah ngantar teman kesalah satu kost di kota Medan, harga per bulannya ada yang 1 juta rupiah, saya langsung terbelalak, mahal amat dibandingkan waktu saya kuliah dulu ada yang hanya 1 juta rupiah setahun. Ya tapi itu dulu,....jaman sebelum merdeka secara finasial.

Mungkin saya paling tepat disebut nomaden kost, karena selama 5 tahun terhitung saya pernah 7 kali berpindah-pindah, bahkan pernah juga kembali pindah ke kost lama akibat kost yang baru selalu listriknya gak sanggup dayanya alias mati akibat ada tetangga cewek sebelah masak pake rice cooker, nyetrika dll. Bosan dengan kehidupan seperti itu, saya kemasi barang dan kembali lagi ke kost lama, ibarat kata ”burung saja kembali ke sarang, walau terbang sejauh-jauhnya”.

Namanya saja kost, bagi mahasiswa itulah istananya, seru-serunya anak kuliahan banyak dilewatkan di kost tercinta. Entah kenapa sering juga salah satu kost jadi basecamp pertemuan para mahasiswa. Kalau sudah begini, empunya kost kudu sabar-sabar, siapin minum, gelas, piring bahkan siap dijajah persediaan snack-nya tanpa harap kembali. Maklum saja, ada juga tamu yang nyadar diri, tapi ada juga tipe kolonial alias penjajah. Kalau saya sebenarnya type kolonial.

Kost pertama saya berada di Perumahan Serumpun, sekitar 4 KM dari lokasi Kampus. Tahun pertama gak terlalu seru di kost ini, pernah 2 bulan air PDAM mati suri. Alih-alih saya pindah dan jadi penumpang gelap di kost teman saya Yafeth dan Asaf (abang adik) di daerah Timbangan. Makanya ketika kontrak kost selesai, saat yang tepat pindah.

Kost di Tahun kedua saya memilih lebih ke pinggir lagi. Karena wilayah kost ini tidak terdapat di peta, maka kami menyebutnya ”Serumping” alias serumpun pinggiran. Letaknya persis di luar atau pinggiran batas perumhan Serumpun. Jangan anggap sebelah mata dulu, karena pemilik kost ini adalah Ibu Dosen Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNSRI (FKIP). Si Ibu masih lajang, namun sudah lumayan berumur-lah. Kost ini seperti lokasi Villa. Arsitektur rumah Ibu Kost (Main House) benar-benar Modern-Tradisional, diadaptasi rumah adat Palembang. Uniknya Tangga menuju lantai 2 tidak berada di dalam rumah, tapi dari samping rumah. Si Ibu kost sangat baik. Karena si Ibu masih lajang tak jarang kami anak-anak kost dianggap anak sendiri. Saat itu belum trend Handphone, jadi kalau ada anggota keluarga yang nelpon, pembantu si Ibu akan segera memanggil dari Lantai 2. apalagi kalau hari Minggu, anak-anak kost pada ngantri nerima telepon dari keluarga. Sayang sekali si Ibu kost yang baik hati tidak berumur panjang, si Ibu terkena serangan jantung di Kampus. Rumah bak Villa dan beberapa kost disekitarnya jadi tidak ada induk semangnya. Dengar-dengar warisan si Ibu jatuh kepada putri dari saudarinya. Tinggal di kost ini nyaman banget, karena tetangga terdekat berjarak 500 meter, uniknya lagi bisa jalan-jalan ke danau rawa yang berjarak hanya 500 meter, tentunya melewati hamparan rumput semak. Rumah kost yang dikelilingi hutan semak memang selalu penuh resiko, apalagi kost ini terletak tidak begitu jauh dari TPU alias kuburan. Tak jarang malam-malam kedengaran lolongan anjing dari tetangga terdekat yang adalah keluarga polisi suku batak yang berasal dari Medan. Pernah sekali waktu teman saya Roberto nginap di kost saya, tiba-tiba saat tengah malam terdengar lolongan anjing yang bikin bulu kuduk berdiri, gak sampai disitu tiba-tiba ada aliran angin dingin yang entah kenapa kok bisa masuk ke kost padahal kaca jendela tertutup,...ihhh serem.

Lain lagi cerita yang satu ini, kost yang ”Super Duper” alami tapi penuh dengan resiko bertemu binatang-binatang melata. Pernah sekali seorang teman berhasil membunuh anak ular dengan diameter seukuran jari kelingking. Beberapa wanita pada menjerit ketakutan dan saling berpelukan. Gak jauh beda dengan si Mbak pembantu ibu kost, sambil menjerit-jerit ngebilangin sama ”si super hero” supaya jangan membunuh ular, nanti temannya datang. Saya juga baru tahu kalau ular itu punya teman, apa mungkin ular yang satu menyapa ular yang lain dengan sapaa’”Apa kabar Bro?”. Emang udah pernah dengar mitos itu, tapi yang ini baru nyata, dari semak muncul dua lagi anak ular yang lain dengan kecepatan menjalar yang lebih cepat. Seketika suasana senja di kost yang damai berubah jadi lautan terikan ”selamatkan dirimu,,......lupakan harta yang berharga selain nyawamu”. Beberapa orang lari terbirit-birit tak tentu arah. Jangan tanya tentang saya, rasanya mau pingsan. Seumur-umur lihat ular cuma waktu di kebun binatang, melihat pertunjukan ”Live” seperti itu rasanya sepertinya kaki kegelian sendiri. Mau disebut penakut terserahlah. Memang tidak semua orang dilahirkan untuk jadi superhero.

Ngomong-ngomong tentang superhero, mungkin teman saya satu geng ini pantas menyandang gelar superhero. Teman saya Roberto Sitanggang, anak Medan kelahiran Serdang ini benar-benar tahu cara menaklukkan alam Serumping. Pernah sekali ada biawak besar yang nyasar ke pekarangan kost. Ukurannya luar biasa, lebih dari setengah meter. Entah kenapa di saat senja yang indah harus ada binatang purba yang singgah di kots yang hampir saja dianggap sebagai Komodo atau dinosaurus oleh penghuni kost. Kalau ngadapin ular memang semuanya pada ngacir, tapi kalau biawak sepertinya lebih berani. Sama dengan teman kost yang bernama Theresia, cewek Fakultas Kedokteran ini memberanikan diri untuk bergabung dengan ”Tim penangkap biawak” serumping. Kali ini Tim-nya lebih solid, karena ada Stephy yang berbadan besar, saking besarnya ukuran sepatunya harus nomor khusus. Ada juga Dinand, cowok jurusan Teknik Mesin asal Bangka ini, badannya kurus dan lebih lincah. Kalau saya, Oland dan yang lainnya hanya penggembira saja. Siapa juga yang mau jadi korban keganasan produk evolusi  seleksi alam binatang purba yang satu itu. Ketua tim tentu saja Roberto sitanggang. Berbekal ilmu menggembala ternak dan hidup ala Kampung sewaktu kecil. Kemampuannya beradaptasi di alam jauh di atas rata-rata. Beruntunglah kami bukan hidup di pulau terdampar seperti di cerita ”Lost”, bisa-bisa hanya dia yang bertahan hidup di alam bebas.

Rencana penangkapan si Biawak berhasil. Si Biwak berhasil tersudut di ujung lorong gang kost. Semua gembira, tapi hey,...semua baru sadar siapa yang akan menangkapnya, dengan tangan kosong??? Si Robert pun mengatur staregi, dengan berbaris secara berlapis, kami akan menangkap si biawak. Merasa terpojok, si Biawak balik mencari jalan keluar dan berusaha menembus barikade manusia pemburu. Anehnya begitu si Biawak mendekat ke barisan, semua pemburu langsung lari terbirit-birit menyelamatkan diri, ada yang lari menjauh, ada juga yang masuk ke kost dan mengunci pintu. Parah,.....strategi jitu gak berhasil, sampai akhirnya hanya Robert yang berhasil menarik ekor Biawak yang berusaha meloloskan diri. Dengan tangan kosong dia mengangkat ekor si biawak. Si Biawak tidak berdaya, berusaha kabur dengan menggigit tapi usaha sia-sia. Karung goni pun disiapkan untuk menjadi rumah sementara si Biawak. Penduduk desa pun datang untuk meminta hasil buruan, kami memberi dengan iklas. Konon katanya Biawak bisa dimakan. Amit-amitlah, ngebayangin makan biawak. Semua bersorak untuk keberanian si Robert, Akhirnya kost pun aman tentram kembali, sejak itu Robert sering menjadi ketua Tim kegiatan geng 99’ers, termasuk kegiatan memancing, berperahu dan lintas alam..

Masih banyak kisah kehidupan kost yang seru, nantikan kelanjutan kisahnya di serial Ceskul.








1 komentar: