Rabu, 03 Oktober 2012

LOVE FRIDAY, IT’S HARD ON MONDAY

bii
LOVE FRIDAY, IT’S HARD ON MONDAY

“Hati-hati di jalan ya Papi”, istriku selalu mengingatkanku saat berangkat kerja hari Senin pagi. Bukan pagi jam 6, tapi jam 04.30 pagi WIB. Doa pagi dan segelas Teh atau sereal hangat selalu disediakannya untuk menghangatkan tubuh selama perjalanan Tak lupa bekal sarapan pagi di wadah penyimpanan makanan Tupperware selalu dimasukkan ke Mobil, dan bias dimakan saat masuk kantor. Maklum, sebagai seorang suami sekaligus ayah yang berkerja di luar kota Medan, Jadwal berangkat kerja adalah Senin Pagi dan kembali lagi pada hari Jumat. Berat memang apalagi putri pertama kami masih kecil. Maka tak heran kalau Hari Jumat sore itu serasa hari “Kemerdekaan”, sedangkan hari Senin pagi itu terasa lebih berat, ya lebih berat waktu bangun pagi, dan juga waktu harus meninggalkan keluarga untuk bekerja. Namanya juga bekerja, demi “sesuap nasi dan segenggam berlian”.

“Tuhan, jagai Istri dan Anakku”, demikian doaku setiap saat akan berangkat kerja.

Gak jauh beda dariku, beberapa kenalan atau teman kantor ternyata sebelas dua belas denganku, alias beti (beda tipis). Antara terlihat atau tidak terlihat oleh kesibukan kerja, beberapa rekan kerja yang pasangannya bekerja di kota lain juga merasakan hal yang sama denganku.

Maria misalkan, Ibu muda yang dikarunia 3 anak ini awalnya tinggal bersama dengan suaminya di Tebing Tinggi, namun karena suaminya mendapatkan promosi jabatan, suaminya harus tinggal bekerja di kota Rantau Parapat. Terbayang tangguhnya Maria mengatur kehidupan 3 anak dan mengatur semua ”roda dapur” dijalankan sehari-hari. Meski dibantu oleh Ibunya dan seorang pembantu, toh,..... tidak semuanya menjadi mudah, ada saat-saat yang melelahkan. Suaminya juga menjadi anggota ”Suami Jumat Senin”, alias brangkat Senin pulang Jumat”. Masih ingat waktu Maria cerita, suaminya kadang sampai sudah hari sabtu subuh, dan berangkat kerja lagi ke rantau Parapat padahari minggu tengah malam. Kalau kondisi sudah seperti ini, rasanya setiap detik begitu berharga bersama keluarga.

Setali tiga uang, sebut saja namanya Cissa, suaminya dimutasikan ke Kisaran, meski tidak terlalu jauh dari Kota Tebing Tinggi, namun sang suami harus juga kost di kota Kisaran. Maklum, suami Cissa yang bekerja di Bank BUMN tidak bisa dipastikan pulang jam kerja. Faktor biaya ongkos, waktu dan tenaga, membuat si suami juga menyewa kamar kost di kota Kisaran.

Tapi, ada juga yang lebih ”berat” lagi kasusnya. Suatu siang di hari Minggu, saat pulang dari Kebaktian Gereja, saya ngobrol dengan salah seorang Penatua (Sintua) Gereja yang seorang PNS dan sudah 1 tahun dimutasi dari Kota Medan ke Kepulauan Riau. Bercerita panjang lebar, beliau cerita tentang mahalnya biaya pulang untuk menjenguk keluarga di Medan.
”Berapa kali dalam sebulan pulang ke Medan?”, tanyaku heran.
”Sekali sebulan”, katanya singkat, seperti tanpa beban.”Naik Pesawat ke Batam, dari Batam naik boat lagi,...sampai deh ke tempat kerja”, sambil aku mengangguk tanda keheranan. Terbayang banyaknya biaya yang harus dikeluarkan dan rindu yang harus ditahan untuk bertemu dengan istri dan 2 putrinya yang tercinta. Setelah dipikir-pikir ternyata aku lebih beruntung,...he he he.
Ada lagi yang lebih “Berat”, Teman saya Devi, Pegawai PNS di Sidikalang, suaminya seorang PNS di Papua. Tak terbayangkan gimana rasanya beratnya menjalani hari-hari.

Banyak hal yang dihadapi keluarga dengan kondisi seperti ini. menahan rindu, ingin berbagi, tapi tidak selalu bisa terpuaskan. Handphone memang menunjang komunikasi, tapi visualisasi tetap saja diperlukan. Kedewasaan sangat diperlukan. Apalagi kalau ada anak yang sakit,...wah,….si istri bisa panik, si suami hanya bisa berdoa dari tempat yang jauh.

Dukungan suami istri sangat diperlukan dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga. Gangguan bisa saja datang dari pihak luar. Misalnya aja cerita Jhonny, dia dianggap ”kurang bertanggung jawab” oleh salah satu pihak keluarganya yang menganggap proses mutasinya ”berupa ancaman” terhadap rumah tangganya. Dia dianggap akan kurang berkontribusi untuk membesarkan anaknya yang masih kecil, dan seakan-akan hanya istrinya yang akan membesarkan anak mereka. Tuduhan bahwa seorang ayah juga bertanggung jawab atas perkembangan putra-putrinya yang masih kecil juga diterima Jhonny dengan ”serangan ” yang cukup sengit. Bayangkan saja betapa kesalnya Jhonny, disaat hidupnya ada di siklus ”Jumat-Senin” dengan berbagai emosi yang ada, rasa rindu, dan tekanan pekerjaan, ada saja pihak yang justru menganggap bahwa pengorbanannya tidak berarti apa-apa, padahal Jhonny juga berjuang demi keluarganya.
Well,......begitulah hidup,....... diantara itu semua, aku tetap melihat bahwa setiap keluarga berjuang untuk kebahagiaan bersama. Saya misalnya, setiap Sabtu di akhir pekan akan kubuat berarti, mengajak putri kecilku untuk jalan pagi dengan Baby Stroller-nya di komplek rumah menjadi agenda wajib, menikmati sarapan yang disediakan istri juga menjadi hal yang menyenangkan, belum lagi menemani istri mengurus anak, menyiapkan air mandi putri kecilku, Karin, mengganti popok, atau sekedar menemani istri ke Mall, ”cuci mata” katanya,.....semuanya menjadi berharga. Aku tau, bahwa life must go on,....seperti kebanyakan teman-teman ”senasib” lainnya, toh hidup tetap indah,....... indah karena kami mampu menjalaninya dan mengatasinya. Toh, roda akan berputar,........meskipun bekerja di kota yang berbeda, aku sadar keluarga adalah berkat,......dan Tuhan akan menyatukan keluarga yang telah disatukan-NYA terlebih dahulu,....suatu saat,....dan itu PASTI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar