LOVE
FRIDAY, IT’S HARD ON MONDAY
“Hati-hati di jalan ya Papi”,
istriku selalu mengingatkanku saat berangkat kerja hari Senin pagi. Bukan pagi
jam 6, tapi jam 04.30 pagi WIB. Doa pagi dan segelas Teh atau sereal hangat
selalu disediakannya untuk menghangatkan tubuh selama perjalanan Tak lupa bekal
sarapan pagi di wadah penyimpanan makanan Tupperware selalu dimasukkan ke Mobil,
dan bias dimakan saat masuk kantor. Maklum, sebagai seorang suami sekaligus
ayah yang berkerja di luar kota Medan, Jadwal berangkat kerja
adalah Senin Pagi dan kembali lagi pada hari Jumat. Berat memang apalagi putri
pertama kami masih kecil. Maka tak heran kalau Hari Jumat sore itu serasa hari
“Kemerdekaan”, sedangkan hari Senin pagi itu terasa lebih berat, ya lebih berat
waktu bangun pagi, dan juga waktu harus meninggalkan keluarga untuk bekerja.
Namanya juga bekerja, demi “sesuap nasi dan segenggam berlian”.
“Tuhan, jagai Istri dan
Anakku”, demikian doaku setiap saat akan berangkat kerja.
Gak jauh beda dariku,
beberapa kenalan atau teman kantor ternyata sebelas dua belas denganku, alias
beti (beda tipis). Antara terlihat atau tidak terlihat oleh
kesibukan kerja, beberapa rekan kerja yang pasangannya bekerja di kota lain
juga merasakan hal yang sama denganku.
Maria
misalkan, Ibu muda yang dikarunia 3 anak ini awalnya tinggal bersama dengan
suaminya di Tebing Tinggi, namun karena suaminya mendapatkan promosi jabatan,
suaminya harus tinggal bekerja di kota Rantau Parapat. Terbayang tangguhnya
Maria mengatur kehidupan 3 anak dan mengatur semua ”roda dapur” dijalankan
sehari-hari. Meski dibantu oleh Ibunya dan seorang pembantu, toh,..... tidak
semuanya menjadi mudah, ada saat-saat yang melelahkan. Suaminya
juga menjadi anggota ”Suami Jumat Senin”, alias brangkat Senin pulang Jumat”.
Masih ingat waktu Maria cerita, suaminya kadang sampai sudah hari sabtu subuh,
dan berangkat kerja lagi ke rantau Parapat padahari minggu tengah malam. Kalau
kondisi sudah seperti ini, rasanya setiap detik begitu berharga bersama
keluarga.
Setali
tiga uang, sebut saja namanya Cissa, suaminya dimutasikan ke Kisaran, meski
tidak terlalu jauh dari Kota Tebing Tinggi, namun sang suami harus juga kost di
kota Kisaran. Maklum, suami Cissa yang bekerja di Bank BUMN tidak bisa
dipastikan pulang jam kerja. Faktor biaya ongkos, waktu dan tenaga, membuat si
suami juga menyewa kamar kost di kota Kisaran.
Tapi,
ada juga yang lebih ”berat” lagi kasusnya. Suatu siang di hari Minggu, saat
pulang dari Kebaktian Gereja, saya ngobrol dengan salah seorang Penatua
(Sintua) Gereja yang seorang PNS dan sudah 1 tahun dimutasi dari Kota Medan ke
Kepulauan Riau. Bercerita panjang lebar, beliau cerita tentang mahalnya biaya
pulang untuk menjenguk keluarga di Medan.
”Berapa
kali dalam sebulan pulang ke Medan?”, tanyaku heran.
”Sekali
sebulan”, katanya singkat, seperti tanpa beban.”Naik Pesawat ke Batam, dari
Batam naik boat lagi,...sampai deh ke tempat kerja”, sambil aku mengangguk
tanda keheranan. Terbayang banyaknya biaya yang harus dikeluarkan dan rindu
yang harus ditahan untuk bertemu dengan istri dan 2 putrinya yang tercinta. Setelah dipikir-pikir
ternyata aku lebih beruntung,...he he he.
Ada lagi yang lebih “Berat”, Teman saya Devi,
Pegawai PNS di Sidikalang, suaminya seorang PNS di Papua. Tak terbayangkan
gimana rasanya beratnya menjalani hari-hari.
Banyak hal yang
dihadapi keluarga dengan kondisi seperti ini. menahan rindu, ingin berbagi,
tapi tidak selalu bisa terpuaskan. Handphone
memang menunjang komunikasi, tapi visualisasi tetap saja diperlukan. Kedewasaan
sangat diperlukan. Apalagi kalau ada anak yang sakit,...wah,….si istri bisa
panik, si suami hanya bisa berdoa dari tempat yang jauh.
Dukungan
suami istri sangat diperlukan dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga. Gangguan
bisa saja datang dari pihak luar. Misalnya aja cerita Jhonny, dia dianggap
”kurang bertanggung jawab” oleh salah satu pihak keluarganya yang menganggap
proses mutasinya ”berupa ancaman” terhadap rumah tangganya. Dia dianggap akan
kurang berkontribusi untuk membesarkan anaknya yang masih kecil, dan seakan-akan
hanya istrinya yang akan membesarkan anak mereka. Tuduhan bahwa seorang ayah
juga bertanggung jawab atas perkembangan putra-putrinya yang masih kecil juga
diterima Jhonny dengan ”serangan ” yang cukup sengit. Bayangkan saja betapa
kesalnya Jhonny, disaat hidupnya ada di siklus ”Jumat-Senin” dengan berbagai
emosi yang ada, rasa rindu, dan tekanan pekerjaan, ada saja pihak yang justru
menganggap bahwa pengorbanannya tidak berarti apa-apa, padahal Jhonny juga
berjuang demi keluarganya.
Well,......begitulah
hidup,....... diantara itu semua, aku tetap melihat bahwa setiap keluarga
berjuang untuk kebahagiaan bersama. Saya misalnya, setiap Sabtu di akhir pekan
akan kubuat berarti, mengajak putri kecilku untuk jalan pagi dengan Baby Stroller-nya di komplek rumah
menjadi agenda wajib, menikmati sarapan yang disediakan istri juga menjadi hal
yang menyenangkan, belum lagi menemani istri mengurus anak, menyiapkan air
mandi putri kecilku, Karin, mengganti popok, atau sekedar menemani istri ke
Mall, ”cuci mata” katanya,.....semuanya menjadi berharga. Aku tau, bahwa life must go on,....seperti kebanyakan
teman-teman ”senasib” lainnya, toh hidup tetap indah,....... indah karena kami
mampu menjalaninya dan mengatasinya. Toh, roda akan berputar,........meskipun
bekerja di kota yang berbeda, aku sadar keluarga adalah berkat,......dan Tuhan
akan menyatukan keluarga yang telah disatukan-NYA terlebih dahulu,....suatu
saat,....dan itu PASTI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar