PLUS MINUS WAJAH PARAWISATA INDONESIA
Cantiknya Danau Toba |
Tapi ngomong-ngomong nih,...kalau diibaratkan sebuah wajah, apa ya
kira-kira pendapat para turis dalam maupun luar negeri tentang Indonesia??? Beragam pastinya, sama seperti beragamnya
tempat-tempat wisata di Indonesia. Secara umum, Indonesia pastinya masuk
kategori negara dengan pilihan tempat tak terbatas. Wajar saja saya menyebutnya
demikian. Negara kepulauan ini punya “Raja Ampat” yang justru lebih kesohor di
luar negeri daripada di dalam negeri. Saya sendiri baru 4 tahun terakhir “aware” alias nyadar tentang
kesohoran tempat wisata di Papua ini dari Koran maupun internet. Atau sebut
saja “Pulau Gili Trawangan”, kebanyakan teman-teman kerja saya justru gak tahu
tempat ini. Saya cukup
beruntung bisa pernah bulan Madu dengan istri di tempat eksotis ini. Kebayang
aja, pulau kecil di daerah NTB (Lombok) ini justru disinggahi lebih banyak
Bule-nya. Kalau Bali, Danau Toba, yogyakarta mungkin semua rakyat Indonesia
sudah tahu, tapi kalau Tomohon, Kepulauan Seribu, Pantai Panjang Bengkulu,
Pantai di Sabang – Banda Aceh atau juga gugusan pantai di sepanjang Nusa
tenggara Timur, apa sudah banyak yang tahu???? Hmm,..... sepertinya kebanyakan masyarakat
Indonesia lebih kenal sama patung singa di Singapura atau Phuket Thailand. Parahnya
lagi, hampir semua orang SUMUT tahu tentang Pineng Malaysia,......ya kalau gak
jadi TKI ya berobat atau cek kesehatan. Wadohhhhh,...kalau sudah begini dimana
bangganya jadi masyarakat Indonesia.
Ngomong-ngomong tentang wajah,..... ada perlunya wajah juga dirawat, diberi
sapuan make up, supaya kecantikannya makin bersinar. Gak jauh beda, wisata alam
Indonesia juga perlu ”dirias” sedemikian rupa supaya Indonesia tampil lebih
cantik dan menarik. Nah kecantikan alam Indonesia memang punya nilai plus
dibandingkan negara lain, sebut saja singapura, negara maju ini tidak
”diberkahi” dengan alam yang seluas Indonesia. Kerennya, Negara Indonesia
memiliki beberapa gunung berapi aktif, lembah, danau, bahkan Pantai yang begitu
indah.
Pesona Lombok & Bali |
Tapi tak jarang riasan yang ada justru terkesan salah dan meninggalkan
kesan buruk bagi industri wisata Indonesia. Dari beberapa pengalaman saya
sebagai wisatawan domestik, tak jarang saya justru kecewa melihat sistem sarana
dan prasarana pariwisata di Indonesia. Mungkin, ini juga penyebabnya orang
Indonesia justru memilih wisata ke luar negeri.
Kalau tadi sudah bicara tentang plus-nya Indonesia, sekarang minusnya.
Meskipun ini hanya pendapat pribadi, tapi saya melihat seharusnnya kemajuan
industri wisata harus menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat. Pemerintah misalnya, perlu terus berinovasi dalam mengembangkan
pariwisata nasional, bukan hanya iklan Visit Indonesia, tapi yang paling perlu yaitu
pembinaan dalam negeri. Masih teringat dengan salah satu komentar turis luar
disalah satu edisi Majalah ’Inside Sumatera” yang saya baca ketika menginap di
salah satu hotel di kota Medan. Kurang lebih dia memuji kecantikan danau Toba
dan Pulau Nias, tapi sangat tidak nyaman dengan jalanan yang rusak sehingga
memperlambat perjalanan. Hal itu juga pernah saya rasakan, jalanan yang rusak
membuat liburan saya dan keluarga menjadi liburan yang melelahkan, perjalanan
Berastagi menuju kota Medan yang biasanya bisa ditempuh selama 2 jam, harus
dibayar dengan ”kesabaran ekstra” waktu tempuh menjadi 8 Jam.
Kita mungkin harus berterima kasih kepada majalah Inside Sumatera yang
berani memuat komentar positif dan negatif dari turis luar. Beberapa perjalanan
wisata saya di dalam negeri kurang lebih sama, jalanan rusak ibarat noda yang
mengurangi indahnya sebuah lukisan. Seharusnya pemerintah lebih konsen kepada
perbaikan jalur transportasi darat di Indonesia. Delay pesawat juga kurang
lebih sama efeknya, kebayang dengan bule yang pengen berlibur dengan jadwal
mereka yang ketat, tetapi harus disuguhi dengan jadwal penerbangan domestik
yang sering tertunda. Nah kalau yang begini harusnya pemerintah lebih
meningkatkan pelayanan publik. Bicara soal penerbangan, maka tidak bisa
dipisahkan dengan bandara udara. Kualitas, fasilitas serta kebersihannya wajib
diperhatikan. jangan sampai seperti pengalaman saya ketika menjemput keluarga
di terminal kedatangan bandara udara Polonia Medan. Hmmm,....space untuk
menunggu harus diusik dengan aroma tak sedap dari area toilet,....yang parahnya
lagi (kali ini saya harus berani katakan),....saya risih dengan kondisi
toiletnya (mudah-mudahan saat ini kondisinya sudah lebih baik). Beruntunglah
hal seperti itu tidak saya temukan di bandara udara Selaparang Lombok, Ngurah
rai bali, maupun di bandara udara di kota Padang.
Masyarakat juga harus lebih terdidik dan berbudaya dalam menghadapi/
melayani turis dalam maupun luar negeri. Pengalaman tidak menyenangkan pernah
saya alami di Tuk-tuk sumatera utara, niat untuk berkeliling pulau Samosir
dengan menggunakan jasa mobil rental
yang disediakan oleh usaha penduduk akhirnya batal. Salah paham yang membuat si
pengelola jasa rental membatalkan secara sepihak, parahnya lagi, setelah
dibatalkan uang panjar sewa pun tidak dikembalikan, kami berpikir bahwa ini
bentuk ”halus” dari penipuan. Beruntunglah masi banyak keramahan lain yang kami
terima dari penduduk lain disekitar daerah Tuk-tuk dan Danau Toba. Tapi setelah
kejadian itu, saya akan berpikir seribu kali untuk merental mobil didaerah itu.
Kisah yang tidak jauh berda juga pernah saya rasakan dan teman-teman kerja pada
tahun 2005 di Kota Padang, bus yang mengantarkan kami dari kota padang ke
Pantai Carolina tidak memenuhi janjinya menjemput kembali alias ”Si bus” tidak
pernah hadir menjemput. Parahnya lagi kalau musim liburan, beberapa tempat
wisata justru menaikkan harga-harga dengan cara yang tidak wajar. Misalnya
saja, saya harus membayar parkir sebesar Rp. 10.000,- ketika berlibur ke kebun
Binatang di pematang Siantar saat awal bulan januari 2013 lalu. Ini tentunya
lebih mahal dari tarif parkir saya di Mall di kota Medan. Gimana mau maju
industri wisata kalau begini. Bukankah inti bisnis wisata itu adalah berhasil
mendatangkan kembali si turis dikemudian hari???
Beruntunglah masih banyak keramahan dan kejujuran yang saya dapatkan selama
berlibur di beberapa tempat. Misalnya di Bali, pihak jasa rental mobil sangat
profesional. Bukan hanya itu ketika berlibur di lombok, saya mendapati
keramahan penduduk yang wajib dicontoh masyarakat pelaku industri wisata
lainnya. Ketika saya dan istri menuju hotel penginapan setelah selesai
menikmati keindahan Pure Bolong, kami akhirnya menaiki kendaraan angkot yang
cukup sederhana, penumpangnnya ramah dan memberikan senyum, ketika akan
membayar ongkos, si supir malah menawarkan jasa untuk berkeliling ke beberapa
tempat wisata di lombok. Istilahnya kalau di perbankan, si bapak sedang ”cross
selling” menawarkan jasa. Wah,..ramah banget pikirku, walaupun akhirnya tawarannya
kami tolak dengan halus. Bukan hanya itu pegawai di ’The Santosa hotel” tempat
kami meninap sangat ramah. Bahkan salah satu manager-nya bersedia menawarkan
bantuan mengelilingi hotel dan bercerita tentang Lombok. Wow,.......tak heran
kalau banyak bule di Lombok. Apalagi daerahnya relatif aman bagi pelancong,
seperti saya misalnya, pulang ke hotel sudah jam 1 malam, sambil berjalan kaki
bersama istri, rasa aman itu salah satu resepnya.
Sadar wisata haruslah menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama. Tugas
utamanya adalah bagaimana memuaskan para turis, dan mendatangkan mereka
kembali. Meskipun industri parawisata kita semakin baik di beberapa daerah
(setidaknya menurut pemikiran saya) tapi masih banyak spot-spot wisata yang
masih harus dikembangkan. Para pelaku industri wisata harus lebih dididik
tentang budaya ramah, jujur dalam berbisnis dan melayani pelanggan. Kelak,
bukan tidak mungkin bukan hanya Bali, Lombok, Raja Ampat yang akan terkenal di
manca negara, tapi banyak tempat wisata lainnya.
Mari percantik Indonesia.
Catatan: Merupakan perjalanan wisata penulis, tidak serta merta menyimpulkan secara umum mengenai kondisi budaya, perilaku suatu masyarakat tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar